SEJARAH SUNAN GUNUNG JATI

kaos distro murah
Assalamualaikum
hai kawan bloger salam hangat kawan blogger semua
nah kali ini ane mau posting nih masalah (WALI SANGA )
nah mungkin kawan semua ada yang tau tapi ane ingin berbagi untuk yang belum tau
dan emngingatkan untuk agan yang sudah tau
untuk itu langsung saja ke TKP ....
cekidot .... read ... post ... in .. my ... blog ....



Sunan Gunung Djati dan Islamisasi di Jawa Barat
PENYEBARAN Islam di Nusantara, proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia. Akan tetapi, fase ini merupakan masa yang kurang jelas.menurut Ricklefs (1981) dalam A History of Modern Indonesia, karena di beberapa bagian Indonesia telah ada dan para pedagang Arab. Ini telah berlangsung selama berabad-abad. Mengenai hal ini telah terjadi perdebatan panjang antara para ahli sejarah, mengenai kapan, mengapa, dan bagaimana penduduk Nusantara menganut agama Islam. Teori-teori yang ada banyak menunjukan perbedaan-perbedaan, terutama mengenai waktu dan negeri asal pembawanya.
Di antara teori-teori yang banyak dikemukakan secara grand theory terdapat tiga teori yaitu Teori Mekah yang dipelopori Hamka, Teori Persia oleh Hoesen Djajadiningrat, dan Teori Gujarat oleh Snouck Horgrunje..
Kedatangan Islam di Jawa Barat, tidak dapat dilepaskan dengan proses kedatangan masuk dan berkembang Islam di Nusantara secara integral. Hal ini menurut Hoesen Djajadiningrat (1913) disebabkan karena Cirebon dan Banten yang dianggap sebagai pusat penyebaran agama Islam dan kekuasaan Islam di Jawa Barat. Cirebon dan Banten posisinya berada pada lokasi yang strategis baik secara ekonomis maupun politik. Selain itu, letak Cirebon dan Banten berada pada jaringan perdagangan internasional yaitu perdagangan jarak jauh (long dintance trade ) yaitu pergadangan jalur sutra.
Menurut Hasan Muarif Ambari (1998) Abad ke-13 sampai dengan 16 Masehi merupakan rentang waktu yang ditandai dengan pertumbuhan peradaban Islam di Nusantara. Saat itu hampir bersamaan dengan runtuhnya pusat-pusat peradaban Islam di Timur Tengah, agama Islam telah masuk dan menyebar ke seluruh pelosok Nusantara. Penyebaran agama Islam ke Nusantara dilakukan oleh para mubaligh dan para pedagang Arab dengan memanfaatkan wahana perdagangan internasional yaitu perdagangan jalur sutra. Banyak wilayah-wilayah di Nusantara disinggahi oleh para pedagang Muslim, terutama tempat – tempat yang berada di daerah pesisir seperti Tuban, Gresik, Demak, Cirebon, Banten dan lain sebagainya. Wilayah- wilayah itu dengan cepat mengadakan hubungan dengan para pedagang Islam dan telah membawa dampak sosial maupun budaya bagi masyarakat setempat.
Menurut Sartono Kartodirdjo (1987), penyelenggaraan perkapalan dan perdagangan di kota-kota pelabuhan melahirkan jalur komunikasi terbuka, sehingga terjadi mobilitas sosial baik itu vertikal maupun horizontal. Fenomena di atas ditandai oleh adanya perkembangan perdagangan jarak jauh (long dintance trade) di mana para pedagang Arab memegang peranan penting yang telah berdagang di Nusantara sejak awal abad Masehi, dan degradasi pusat-pusat peradaban Islam di Timur Tengah dengan ditandai oleh keruntuhan Daulah Abasyiah yang mengakibatkan derasnya pengembaraan para ulama dan pedagang Arab ke arah Timur untuk membuka wilayah baru baik itu untuk sosialisasi Islam maupun kepentingan perdagangan.
Penyebaran dan sosialisasi Islam di Nusantara diawali dengan kontak antara komunitas Nusantara dengan para pedagang dan musafir dari Arab, Persia, Turki, Syiria, India, Cina dan lain-lain. Kemudian para pendatang tersebut melakukan kontak budaya dengan masyarakat Nusantara yang diikuti dengan tumbuhnya kantung-kantung pemukiman muslim baik itu di pesisir maupun di pedalaman. Kemudian tumbuh pusat-pusat kekuatan politik dan kesultanan Islam di Nusantara yang ditandai dengan munculnya kerajaan- kerajaan yang bercorak Islam.
Munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Pantai Utara Jawa, serta hubungan antara satu kerajaan dengan kerajaan yang lainnya dan asal-usul penguasanya, menunjukan bahwa Islamisasi di Jawa pada fase ini perlu dijelaskan dengan memperhitungkan latar belakang politik dan ekonomi mereka. Menurut Sartono Kartodiordjo (1987) para penguasa kerjaan di Pesisir Pantai Utara Jawa selain memegang tampuk pemerintahan, juga terlibat dalam perdagangan dan agama.
Menurut De Graaf (2001) Sejak abad 11 Masehi di pesisir Utara Jawa telah memiliki pemukiman-pemukiman Muslim, sehingga Islam dapat berkembang di daerah tersebut. Selain itu, cepatnya penyebaran agama Islam di pesisir maupun di pedalaman Jawa tidak dapat dilepaskan dari peranan para wali yang tergabung dalam kelompok Wali Songo. Secara politik, periode ini merupakan pemantapan institusionalisasi Islam.
Para wali di Pantai Utara Jawa termasuk elite politik-religius. Menurut Sartono Kartodirdjo (1987), disamping kewibawaan ruhaniah mereka juga berperan di bidang politik, antara lain ada yang memegang kekuasaan pemerintahan. Keterpaduan antara dua jenis kekuasaan tidak bertentangan baik itu dengan konsep Islam tentang kekuasaan maupun konsep (Hindu)-Jawa tentang kekuasaan raja.
Peran dan kedudukan para wali dapat dilihat dari beberapa karakternya di antaranya adalah :
Wali tidak mengembangkan atau memperluas wilayah, tetapi menjalankan pengaruh melalui lembaga-lembaga pesantren seperti yang dilakukan oleh Sunan Giri.
Wali tidak mengembangkan pengaruh politik dan mengembangkan kekuasaan politik kepada tangan raja seperti yang dilakukan oleh Sunan Kudus, Sunan Bonang, dan Sunan Kalijaga.
Wali mengembangkan wilayah dan membuat lembaga kerajaan serta sekaligus mengembangkan agama Islam seperti yang diperankan oleh Sunan Gunung Djati baik di Cirebon maupun Banten.
Pada abad ke 15 dan 16 di Jawa Barat terdapat kerajaan Sunda dengan pusat pemerintahannya di Pakuan Pajajaran. Kekuatan kerajaan tersebut melemah setelah terjadi pemberontakan-pemberontakan dari pelbagai daerah yang ingin melepaskan ikatan dengan Pakuan Pajajaran seperti Cirebon, Galuh, Talaga, dan Banten. Menurut F. de Haan (1912:93), bersamaan dengan melemahnya kerajaan Sunda, Agama Islam mulai masuk dan menyebar di wilayah tersebut. Berdasarkan berita dari Tome Pires, pengaruh Islam di Jawa Barat berasal dari Cirebon (Uka Tjandrasasmita , 1975 : 93 ). Jika berdasarkan berita dari Tome Pires, maka Islam sudah ada di Cirebon sejak lebih kurang 1470-1475 Masehi (H. J. de Graaf, 1952:153). Tetapi sampai sekarang belum ditemukan keterangan yang pasti baik itu dari berita Cina maupun Arab yang memberikan penjelasan waktu tentang masuknya Islam ke Jawa Barat. Informasi mengenai hal ini hanya dapat diterima dari sumber-sumber lokal seperti yang dikutif oleh Hageman (1866) yang menyebutkan adanya Haji Purwa di Galuh dan Cirebon pada tahun 1250 Tahun Jawa atau 1337 Tahun Masehi.
Proses penyebaran dan perluasan Islam di Jawa Barat lebih banyak dikisahkan melalui dua gerbang penyebaran yaitu Cirebon dan Banten. Didua daerah itu dikuasai oleh seorang raja juga seorang ulama yaitu Sunan Gunung Djati. Karena dua kekuasaan yang diperankannya yaitu kekuasaan politik dan agama, dia mendapatkan gelar Ratu Pandita. Dibawah kepemimpinannya dilakukan penyebaran agama Islam di Jawa Barat atau Tatar Sunda dari dua pusat kekuasaan Islam yaitu Cirebon dan Banten.
Cirebon
CIREBON sebagai kota wali dan sekaligus pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat masih menyimpan misteri, terutama yang berhubungan dengan sumber-sumber sejarah untuk menjelaskan bentangan sejarah Cirebon yang cukup panjang. Menurut Nina Herlina Lubis (2000) asal-usul kota tersebut lebih banyak ditemukan dalam historiografi tradisional yaitu dalam bentuk manuskrip yang ditulis pada abad 18. Sementara itu, pertumbuhan dan perkembangan Cirebon sudah dimulai pada abad 15 dan 16 seiring dengan gerakan penyebaran Islam di tanah Jawa oleh para wali.
Sejarah mengenai Cirebon dapat dilihat dalam beberapa naskah di antaranya adalah Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon, Sajarah Kasultanan Cirebon, babad walangsungsang, Pustaka rajyarajya I Bhumi Nusantara, Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawa Dwipa, Pustaka Negara Kertabumi , Wawacan Sunan Gunung Djati dan lain sebagainya. Banyak para ahli atau peneliti meragukan sumber-sumber tersebut dan dianggap sebagai sumber sekunder. Tetapi sebelum ada sumber lain yang lebih bisa lebih dipercaya, sumber tadi bisa dipergunakan meskipun sumber sekunder untuk menjelaskan bentangan sejarah perjalanan Islam di Jawa Barat terutama sejarah Cirebon.
Cirebon pada mulanya merupakan desa nelayan yang bernama Pasambangan yang letaknya kurang lebih 5 KM dari kota Cirebon sekarang. Sedangkan kota Cirebon sekarang asalnya bernama Lemah Wungkuk yaitu sebuah desa kecil yang merupakan pemukiman masyarakat muslim yang dipimpin oleh Ki Gedeng Alang-Alang. Menurut Pangeran Suleiman Sulendraningrat dalam Babad Tanah Sunda Babad Cirebon, Ki Gedeng Alang – Alang oleh penguasa Pajajaran diangkat menjadi kepala pemukiman masyarakat Muslim Lemah Wungkuk dengan gelar Kuwu Cerbon. Adapun batas wilayahnya meliputi Sungai Cipamali sebelah Timur, Cigugur sebelah Selatan, Pegunungan Kromong sebelah Barat, dan Junti (Indramayu) sebelah Utara.
Berdasarkan sumber lokal yang tergolong tradisional, pendiri Kesultanan Islam Cirebon adalah Sunan Gunung Djati. Mengenai hal ini dapat dilihat dalam Babad Cirebon, Carita Purwaka Caruban Nagari, ataupun Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara . Pada umumnya sumber historiografi tradisional tersebut memulai menjelaskan sejarah Cirebon dari masa akhir Prabu Siliwangi sebagai penguasa Pajajaran.
Sumber-sumber sejarah tradisional memulai menjelaskan Sejarah Cirebon dari dua nagari yang berada di daerah pesisir pantai utara Cirebon yaitu Nagari Surantaka dan Singapura. Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari, dikisahkan bahwa di Nagari Surantaka saat itu yang memegang kekuasaan adalah Ki Gedeng Sedang Kasih. Wilayah kekuasaannya meliputi Pelabuhan Muara Djati, yang menjadikannya sebagai Syahbandar.
Berdasarkan sumber lokal mengatakan bahwa penguasa Nagari Surantaka Ki Gedeng Sedang Kasih adalah saudara Prabu Anggalarang dari Galuh. Menurut Babad Galuh dan Carita Waruga Guru, Prabu Anggalarang adalah ayah dari Prabu Siliwangi. Dalam Babad Pajajaran diceritakan bahwa penguasa Surantaka mempunyai puteri bernama Nyai Ambet Kasih yang menikah dengan Raden Pamanah Rasa putra Prabu Anggalarang yang juga sekaligus merupakan keponakannya. Babad Siliwangi menjelaskan bahwa Pamanah Rasa adalah nama masa pemuda Prabu Siliwangi Raja Sunda Pajajaran.
Sementara itu di Singapura ada suatu peristiwa unik yaitu diadakan sayembara untuk menentukan jodoh puteri Mangkubumi Singapura Ki Gedeng Tapa yang bernama Nyai Subang Larang. Dalam sayembara itu ditentukan bahwa yang akan menjadi jodoh Nyai Subang Larang adalah pemenang pertadingan dalam perkelahian bersenjata
Diantara peserta sayembara penentuan jodoh Nyai Subang Larang, terdapat Raden Pamanah Rasa. Dalam sayembara itu yang keluar menjadi pemenang adalah putera Prabu Anggalarang. Dengan demikian, maka yang mendapatkan puteri Mangkubumi Singapura adalah Raden Pamanah Rasa. Menurut Babad Cirebon Mereka menikah pada tahun 1422.
Menurut Carita Purwaka Caruban Nagari, sebelum perkawinan antara Nyai Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa, di Singapura terdapat dua peristiwa penting yaitu:
Pertama, tahun 1415 ke Nagari Singapura tepatnya di Pelabuhan Muara Djati berlabuh kapal dari Cina selama satu minggu yang dinahkodai oleh Te Ho atau Cheng Ho atau Sam Po Kong dengan sekretarisnya bernama Ma Huang. Mereka adalah penganut agama Islam. Setelah menetap di Nagari Singapura, Ma Huang menikah dengan saudara Ki Gedeng Tapa yaitu Nyai Rara Rudra. Setelah perkawinannya, Ma Huang bergelar Ki Dampu Awang. Menurut Buku Baluwarti Keraton Kasepuhan Cirebon para pengikut Cheng Ho berhasil membanguan sebuah Mercu Suar.
Kedua, tahun 1418 ke Nagari Singapura datang pula rombongan pedagang dari Campa. Salah satu anggota rombongan tersebut terdapat seolang mubaligh yaitu Syekh Hasanudin bin Yusuf Siddik. Atas persetujuan Ki Gedeng Tapa, untuk beberapa lama mereka tinggal di di Singapura. Syekh Hasanuddin bin Yusuf Siddik kemudian pergi ke Karawang dan mendirikan pesantren dan namanya kemudian dikenal menjadi Syekh Quro. Dari pertemuannya dengan Syekh Quro, kemudian Ki Gedeng Tapa mengirimkan puterinya Nyai Subang Larang untuk belajar ilmu agama Islam di Pesantren Syekh Hasanuddin bin Yusuf Siddik atau Syekh Quro Karawang.
Selain kedatangan Syekh Quro, Ki Gedeng Tapa kedatangan pula mubaligh pengajar agama Islam yaitu Syekh Datuk Kahfi adik Sultan Sulaiman Bagdad. Pada saat dia datang ke Singapura, penguasa nagari tersebut yaitu Ki Gedeng Tapa telah masuk Islam. Maka atas izin dari Mangkubumi Singapura Syekh Datuk Kahfi menetap di Nagari Singapura yaitu di Pasambangan. Menurut salah satu sumber tradisional, di Pasambangan Datuk Kahfi menikah dengan Hadijah seorang cucu Haji Purwa. Haji Purwa dianggap sebagai tokoh penyebar agama Islam pertama di Jawa Barat. Kemudian Syekh Datuk Kahfi mendirikan pesantren yang bernama Pesantren Quro Amparan Djati.
Menurut Pustaka Carita Parahyangan, Prabu Siliwangi Raja Pajajaran dari isterinya yang bernama Nyai Subang Larang atau Subang Karancang yang menganut agama Islam mempunyai anak yang bernama Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang, dan Raden Sanggara. Semua anak-anak Prabu Siliwangi dari Subang Larang mengikuti jejak ibunya menganut agama Islam. Sebagaimana Subang Larang ibunya, mereka menganut menganut Islam mazhab Hanafi.
Menurut Babad Cirebon, setelah ibunya wafat, Pangeran Walangsungsang dan adik-adiknya pergi meninggalkan Pajajaran. Perjalanan pertamanya menuju ke wilayah Timur (Galuh). Kemudian Pangeran Walangsungsang bertemu dan tinggal dengan seorang Kasogatan (Ulama Budha) yang bernama Ki Danuwarsih. Akhirnya Pangeran Walangsungsang menikahi putri Ki Danuwarsih yang bernama Nyai Indang Geulis. Menurut Negara Kerta Bhumi dari kediaman Ki Danuwarsih Pangeran Walangsungsang bersama isterinya Nyai Indang Geulis dan adiknya Nyai Lara Santang menuju ke kerajaan Singapura yang terletak di pesisir pantai Utara Jawa dengan tujuan untuk menemui kakeknya Ki Gedeng Tapa.
Sebagaimana telah dikemukaan, di Nagari Singapura bermukim seorang guru agama bernama Syekh Datuk Kahfi. Atas keinginan dari Ki Gedeng Tapa, Syekh Datuk Kahfi mendirikan pesantren di Gunung Djati yang kemudian dikenal dengan Pondok Quro Amparan Djati. Syekh Datuk Kahfi kemudian oleh Ki Gedeng Tapa diberi gelar Syekh Nurjati. Kepada Syekh Nurjati inilah Pangeran Walangsungsang belajar Islam mazhab Syafi’i. Oleh Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Nurjati, Pangeran Walangsungsang diberi nama baru yaitu Ki Samadullah dan kelak setelah menunaikan ibadah haji namanya berganti menjadi Haji Abdullah Iman. Menurut Sunarjo (1983), Walangsungsang belajar agama Islam dari Syekh Datuk Kahfi selama 3 tahun.
Di lingkungan Keraton Nagari Singapura sendiri, Pangeran Walangsungsang oleh Ki Gedeng Tapa diangkat sebagai Pangraksabumi yang merupakan jabatan sebagai orang kedua dikeraton tersebut yaitu wakil dari Mangkubumi yang dijabat oleh Ki Gedeng Tapa sendiri.
Setelah selesai menuntut Ilmu di Pondok Quro Amparan Djati, Pangeran Walangsungsang atau Ki Samadullah pada tahun 1445 membuka pemukiman baru di daerah Kebon Pesisir atau Tegal Alang-Alang atau Lemah Wungkuk. Di daerah baru tersebut Ki Samadullah berhasil menarik perhatian dari para pendatang lainnya, sehingga daerah Tegal Alang-Alang menjadi daerah baru yang banyak didatangi oleh para pendatang dari berbagai latar belakang baik suku maupun agama. Didaerah itu tumbuh sikap toleransi saling hormat-menghormati terhadap beberapa perbedaan. Menurut beberapa catatan sumber tradisional daerah yang baru dibuka oleh Ki Samadullah dihuni oleh 346 orang yang meliputi orang Sunda 196 orang, Jawa 106 orang, Sumatera 16 orang, Semenanjung Malaysia 4 orang, India 2 orang, Persi 2 orang, Syam 2 orang, Arab 11 orang, dan Cina 6 orang. Hal ini di dapat dilihat dari hidup berdampingan antara Ki Gedeng Danusela yang beragama Budha sebagai Kuwu dengan Ki Samadullah yang beragama Islam dan memegang jabatan pangraksa bumi yang kemudian bergelar Ki Cakrabumi (Nina Herlina Lubis, 2000:30).
Setelah sukses mendirikan Dukuh Cirebon dan mengIslamkan penduduknya, maka atas saran dari Syekh Quro Amparan Djati yaitu Syekh Nurjati atau Syekh Datuk Kahfi atau Syeikh Maulana Idlofi, Ki Samadullah bersama dengan adiknya Nyai Larasantang disarankan untuk menuanaikan ibadah haji guna menyempurnakan ibadah Islamnya. Menurut CaritaPurwaka Caruban Nagari, akhirnya Ki Samadullah tanpa ditemani Isterinya Nyai Indang Geulis karena sedang hamil tua, bersama adiknya Nyai Lara Santang pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah dengan menggunakan perahu layar besar.
Dalam perjalanannya ke Mekah, perahu layar mereka singgah di Mesir. Bersama dengan para pejabat mesir mereka berlayar ke Mekah dan bersandar di Jedah. Di kapal itulah, terjadi pertemuan antara wali kota Mesir Syarif Abdullah yang bergelar Sultan Makmun keturunan Bani Hasyim putera Ali Nurul Alim dengan Nyai Lara Santang Puteri Pajajaran. Akhirnya di Tanah Suci Mekah Nyai Lara Santang dinikahkan oleh Ki Samadullah dengan Syarif Abdullah. Setelah menikah dengan Syarif Abdullah, Nyai Lara Santang diberi gelar Hajjah Syarifah Muda’im. Sedangkan Pangeran Walangsungsang atau Ki Samadullah diberi gelar Haji Abdullah Iman al-Jawi. Di Mekah mereka tinggal di rumah Syeikh Bayanullah adik Syeikh Datuk Kahfi.
Setelah perkawinan adiknya Nyai Lara Santang yang bergelar Hajjah Syarifah Muda’im, maka Pangeran Walangsungsang alian Ki Samadullah atau Haji Abdullah Iman al-Jawi kembali ke Jawa dengan maksud meneruskan penyebaran agama Islam. Tetapi sambil pulang ke Jawa, Haji Abdullah Iman al-Jawi singgah ke Iraq dan Campa sehingga dia dapat menyerap Islam secara universal.
Menurut Pustaka Negara Kertabhumi, dan Carita Puwaka Caruban Nagari, setibanya di tanah air, Haji Abdullah Iman al-Jawi mendirikan Masjid Jalagrahan. Selain itu dibuat pula rumah besar yang nantinya menjadi Keraton Pakungwati. Nama tersebut diambil dari nama putri Pangeran Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji Abdulah Iman al-Jawi atau Ki Cakrabumi dari isterinya Nyai Indang Geulis yang bernama Nyai Pakungwati.
Menurut Sunarjo (1983) karena menginginkan putera laki-laki untuk penerusnya, maka atas persetujuan isterinya Nyai Indang Geulis, Haji Abdullah Iman al-Jawi menikahi puteri Ki Gedeng Alang-Alang yang bernama Nyai Ratna Riris atau Nyai Kancana Larang. Dari perkawinan kedua ini, Pangeran Walangsungsang mempunyai putera yang diberi nama Pangeran Cerbon.
Setelah kuwu Tegal Alang-Alang atau Caruban yang juga mertua dari Pangeran Walangsungsang yaitu Ki Gedeng Alang-Alang meninggal dunia, maka Pangeran Walangsungsang diangkat menjadi Kuwu Caruban dengan gelar Pangeran Cakrabuana menggantikan Ki Danusela. Tidak lama setelah menjadi Kuwu Caruban, kakek Ki Samadullah yaitu Ki Gedeng Jumajan Djati atau Ki Gedeng Tapa wafat. Abdullah Iman tidak mengantikan kakeknya menjadi penguasa Singapura tetapi memilih tetap menjadi kuwu Cirebon. Didukung dengan warisan yang diterima dari Ki Gedeng Jumajan Djati, Pakuwuan Caruban statusnya ditingkatkan menjadi Nagari Caruban Larang. Dengan demikian maka Pangeran Cakrabuana menjadi penguasa nagari sekaligus sebagai ulama.
Sementara itu, Raja Pajajaran Prabu Siliwangi sangat gembira mendengar keberhasilan Pangeran Walangsungsang, sehingga untuk melegitimasi kekuasaan Pangeran Cakrabuana, maka Prabu Siliwangi melantik Ki Samadullah sebagai Tumenggung Cirebon. Dengan mengutus Tumenggung Jagabaya, Prabu Siliwangi memberikan Pratanda dan Anarimakna Kacakrawartyan. Kemudian Haji Abdullah Iman al-Jawi diberi gelar resmi kerajaan oleh Prabu Siliwangi dengan gelar Sri Mangana. Dengan demikian maka, penguasa Caruban Larang bernama Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman al-Jawi.
Sementara itu Nyai Lara Santang atau Hajjah Syarifah Muda’im yang telah menikah dengan Syarif Abdullah walikota Mesir melahirkan dua orang putera yaitu Syarif Hidayatullah yang kelak menjadi Sunan Gunung Djati dan Syarif Nurullah. Menurut naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Syarif Hidayatullah putra Hajjah Syarifah Muda’im ini akan menjadi salah seorang Wali Sanga penyebar Islam di tanah Jawa. Lebih jauh menurut naskah tersebut Syarif Hidayatullah menduduki generasi ke 22 dari Nabi Muhammad SAW.
Setelah Syarif Hidayatullah menjadi pemuda dan berusia dua puluh tahun, dia meninggalkan Mekah untuk berguru kepada beberapa orang guru seperti kepada Syeikh Tajudin al-Kubri selama 2 tahun, Syeikh Athaillah Syazali. Beliau pergi pula ke Baghdad. Di sana syarif Haidayatullah berguru Tasawuf Rasul dan tinggal di pesantren saudara ayahnya selama 2 tahun (Sunarjo, 1983:51). Dalam waktu singkat Syarif Hidayatullah telah mempunyai banyak nama di antaranya Syaid Al kamil, Syeikh Nuruddin Ibrahim Ibnu Maulana Sultan Mahmud al-Khibti.
Setelah ayahnya meninggal, Syarif Hidayatullah diminta untuk menggantikan ayahnya Syarif Abdullah. Tetapi dia menolak bahkan meminta adiknya Syarif Nurullah untuk menggantikan dirinya. Syarif Hidayatullah sendiri memilih pergi ke Jawa untuk menyebarkan agama Islam. Menurut sumber tradisional, Pangeran Nurrullah inilah disebut sebagai orang Pasai yang merantau ke Jawa untuk menyebarkan agama Islam, kemudian namanya dikenal dengan Faletehan atau Fatahillah.
Dalam perjalanannya ke Jawa, Syarif Hidayatullah singgah di Gujarat. Di sana Syaid Kamil betemu dengan Dipati Keling beserta anak buahnya. Dipati Keling dan anak buahnya masuk Islam dan mengabdi pada Syarif Hidayattullah. Kemudian mereka bersama-sama meneruskan perjalannannya menuju Jawa. Sebelum ke Jawa, Syaid Kamil singgah di Pasai. Disini Syarif Hidayatullah berguru kepada Syaid Ishak. Di Pasai mereka tinggal selama dua tahun. Setelah itu, Syaid Kamil dan rombongan meneruskan perjalan menuju ke Jawa, yang diawali dengan persinggahannya di negeri Banten. Di negeri itu sudah banyak yang memeluk agama Islam berkat binaan dari Syaid Rakhmat atau Ali Rakhmatullah seorang guru agama dari Ampel Gading yang kemudian bergelar Susuhunan Ampel.
Setelah bertemu dengan Sunan Ampel, Syarif Hidayatullah diminta untuk meneruskan Ali Rakhmattullah untuk mengajar agama Islam di negeri Banten. Ketika Syaid Rakhmatullah pulang ke Ampel, Syarif Hidayatullah ikut pula ke Ampel guna lebih memperdalam agama Islam. Ketika tiba di Ampel, di sana telah berkumpul para wali. Pada saat itu para wali sedang membagi pekerjaan untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Setelah bersilaturahmi dengan para wali, maka diatur mengenai siasat penyebaran Islam di Jawa. Saat itu Syaid Kamil atau Syarif Hidayatullah diminta untuk menyebarkan agama Islam di Jawa bagian Barat yaitu di tatar Sunda.
Setelah mendapat tugas untuk menyebarkan agama Islam di Tatar Sunda, maka bersama Dipati Keling dan anak buahnya berlayar menuju ke Caruban Larang untuk menemui uwaknya Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman al-Jawi. Setelah memasuki Caruban Larang, pertama kali Syaid Kamil mendarat di pelabuhan Muara Djati, kemudian ke desa Sembung-Pasambangan dekan Giri Amparan Djati. Di sana Syarif Hidayatullah mengajarkan agama Islam menggantikan Syeikh Datuk Kahfi yang telah meninggal dunia. Masyarakat setempat menganggap Sayid Kamil sebagai orang Arab, sehingga digelari Syeik Maulana Djati atau Syeikh Djati.
Selain di Sembung-Pasambangan, Syarif Hidayatullah, mengajarkan agama Islam di Dukuh Babadan. Di sana ia menemukan jodohnya dengan Nyai Babadan puteri Ki Gedeng Babadan. Tetapi perkawinannya tidak berlangsung lama, karena Nyai babadan meninggal dunia dan tidak mempunyai anak. Mengenai perkawinan Sunan Gunung Djati sumber tradisional seperti Wawacan Sunan Gunung Djati dan Babad Banten mengatakan bahwa ia menikahi beberapa orang isteri di antaranya Nyai Babadan, Nyai Rara Djati, Ratu Kawung Anten, Ratu Tepasan dan sorang puteri Cina On Tien.
Pertemuan antara Syarif Hidayatullah, Dipati Keling beserta anak buahnya dengan uwaknya Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman Al Jawi, telah melahirkan kekuatan baru bagi kerajaan Islam Cirebon, terutama dalam penyebaran agama Islam di daerah itu. Syarif Hidayatullah beserta Dipati Keling dan anak buahnya oleh Pangeran Cakrabuana ditempatkan di Giri Sembung untuk mengelola Pondok Quro Amparan Djati peninggalan Syekh Datuk Kahfi. Selain itu, oleh uwaknya Syaid Kamil dinikahkan dengan puterinya yaitu Nyai Mas Pakungwati yang merupakan saudara sepupunya sendiri.
Di Giri Sembung, Syarif Hidayatullah disebut dengan Syeikh Maulana Djati atau Syeikh Djati. Setelah mengelola Pesantren di Giri Sembung, kemudian nama Syaid Kamil atau Syarif Hidayatullah semakin terkenal dan dikenal dengan sebutan Susuhunan Djati atau Sunan Cirebon. Dalam mengajarkan agama Islam di Cirebon, Syeikh Djati tidak mengalami kesulitan, karena santri- santri yang belajar di pesantrennya sama-sama menganut Islam mazhab Syafi’i.
Menurut Sunarjo (1983), ke Cirebon telah datang rombongan dari Banten menghadap kepada Sunan Gunung Djati. Adapun kedatangan mereka adalah untuk meminta Sunan Gunung Djati atau Syarif Hidayatullah untuk mengajarkan agama Islam di Banten. Menurut Carita Purwaka Caruban Nagari, setelah berunding dan mendapat restu dari Sri Mangana Pangeran Cakra Buana Haji Abdullah Iman al-Jawi raja Kerajaan Islam Cirebon yang sekaligus uwak dan mertuanya, maka Syarif Hidayatullah pergi ke Banten.
Pada saat sedang giat-giatnya mengajarkan agama Islam di Banten, Syarif Hidayatullah di panggil pulang ke Cirebon karena tenaganya sangat dibutuhkan oleh Raja Cirebon. Setibanya di Cirebon, Sunan Gunung Djati diserahi tugas untuk menggantikan Sri Mangana Pangeran Cakra Buana haji Abdullah Iman al-Jawi sebagai Raja di Kerajaan Islam Cirebon yang telah dikuasainya selama 30 tahun. Kemudian setelah menyerahkan kekuasaan pada Sunan Gunung Djati, memilih hidup sebagai Muslim yang saleh dengan mempelajari Ilmu Ma’rifatullah.
Untuk penobatan Susuhunan Djati sebagai penguasa Kerajaan Islam Cirebon dilakukan oleh para wali yang tergabung dalam Wali Sanga dari Jawa Timur di antaranya Raden Fatah dari Kesultanan Demak yang didampingi oleh Panglima Perang Kesultanan Demak Fadhilah Khan. Peristiwa penobatan Syarif Hidayatullah sebagai Raja Kerajaan Islam Cirebon terjadi pada tahun 1479. Sejak tahun itulah Caruban Larang atau Cirebon menjadi pusat sebuah kesultanan Islam.
Menurut Hoesen Djajadiningrat (1913), setelah Sunan Gunung Djati jadi penguasa Kerajaan Islam Cirebon, secara damai ia mengajarkan dan menyebarkan agama Islam. Pada saat itu, beribu-ribu orang berdatangan kepada Sunan Gunung Djati untuk berguru agama Islam. Pada awalnya kepala-kepala daerah di sekelilingnya mencoba menentang gerakan itu. Tetapi mereka melihat tentangannya tidak berguna, mereka membiarkan diri mereka sendiri terseret oleh gerakan tersebut. Para bupati seperti Galuh, Sukapura, dan Limbangan menerima dan memeluk agama Islam dan menghormati Sunan Gunung Djati. Para penguasa di sekitar Cirebon menganggap bahwa Sunan Gunung Djati adalah sebagai peletak dasar bagi dinasti sultan-sultan Cirebon.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Sunan Gunung Djati menggunakan sistem desentralisasi. Adapun pola kekuasaannya Kerajaan Islam Cirebon menggunakan pola Kerajaan Pesisir, di mana pelabuhan mempunyai peranan yang sangat penting dengan dukungan wilayah pedalaman menjadi penunjang yang vital. Struktur pemerintahan Kerajaan Islam Cirebon menurut Carita Purwaka Caruban Nagari, terdiri dari Tumenggung sebagai pemimpin tertinggi, kemudian penasehat, dan pimpinan tentara atau lasykar yaitu para Adipati, kemudian para pemimpin wilayah yang lazim disebut dengan Ki Gedeng.
Adapun program-program yang dijalankan dalam memipin pemerintahan di Cirebon, menurut Sunarjo (1983) Sunan Gunung Djati adalah intensitas pengembangan agama Islam ke segenap penjuru Tatar Sunda. Sedangkan di bidang ekonomi Sultan menekankan bidang perdagangan terutama dengan nagari-nagari di wilayah Nusantara. Selain itu dikembangkan pula hubungan perdagangan dengan negeri Campa, Malaka, Cina, India, dan Arab.
Setelah membangunan kekuatan-kekuatan ekonomi, Sunan Gunung Djati sebagai kepela pemerintahan melakukan penataan pemerintahan baik di pusat maupun di wilayah-wilayah nagari. Untuk kelancaran pemerintahan, maka Sultan menempatkan kerabat-kerabat dan ulama-ulama sebagai unsur pimpinan pemerintahan baik pusat maupun daerah.
Menyadari posisi Cirebon sebagai pusat penyebaran agama Islam, pusat kekuasaan politik, serta pusat perekonomian yang sangat strategis, maka Sunan Gunung Djati mempercepat pengembangan kota tersebut. Untuk hal itu, maka ia menjalin hubungan dengan Kerajaan Islam Pesisir Utara Jawa yaitu Kerajaan Islam Demak.
Menurut Tome Pires seorang akuntan Portugis yang pernah tinggal di Cirebon pada tahun 1513 memandang bahwa Cirebon merupakan bagian dari Demak (Graff, 1974:138). Dalam bukunya Suma Oriental (1944) bahwa di Cirebon (the land of Cherimon ) dikepalai oleh Lebe Uca, dan merupakan vassal seorang lord dari Demak yaitu Pete Rodim. Menurut Atja (1972) yang dimaksud oleh Tome Pires Lebe Uca adalah Sunan Gunung Djati dan Pete Rodim adalah Raden Fatah. Bisa jadi pandangan semacam itu terjadi karena Tome Pires melihat bahwa pada saat Sunan Gunung Djati naik tahta menjadi raja di Kerajaan Islam Cirebon menggantikan Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman al-Jawi yang melantiknya adalah para wali di antaranya Raden Fatah Sultan Kerajaan Islam Demak. Dengan dilantiknya Sunan Gunung jati oleh Raden Fatah, maka Tome Pires menganggap bahwa hal tersebut sebagai bukti ketundukan penguasa Cirebon kepada penguasa Demak. Oleh karena itu, Tome Pires menganggap bahwa Cirebon merupakan vassal Kerajaan Islam Demak.
Hubungan antara Cirebon dan Demak, menurut De Graaf (2001) dan F. de Haan (1912) selain karena kepentingan politik, juga didasari oleh hubungan keluarga. Hal ini ditandai dengan perkawinan Sunan Gunung Djati sendiri dengan Nyai Ageng Tepasan. Menurut Wawacan Sunan Gunung Djati Nyai Ageng Tepasan dianggap ibu asal dari para sultan Cirebon.Dari perkawinan itu, Sultan Cirebon mempunyai dua orang anak yaitu Nyai Ratu Ayu dan Pangeran Muhammad Arifin yang kemudian dikenal dengan Pangeran Pasarean.
Menurut Hoesen Djajadiningrat (1913), berdasarkan Babad Cirebon dan Wawacan Sunan Gunung Djati serta Sejarah Para Wali, perkawinan politik antara penguasa Cirebon dengan Demak terus berlangsung, yaitu dengan perkawinan Pangeran Brata Kencana atau Pangeran Gung Anom putera Sunan Gunung Djati dari Nyai Lara Bagdad dengan Ratu Nyawa puteri Raden Patah. Sebenarnya sebelum pernikahan itu, sebelumnya sudah terjadi pernikahan lain yaitu pernikahan antara Pangeran Jaya Kelana putera Sunan Gunung Djati atau kakaknya Brata Kelana dengan Nyai Ratu Pembaya saudara Ratu Nyawa isteri Brata Kelana. Tetapi pernikahan mereka tidak lama, karena para pangeran meninggal dunia saat terjadi pertempuran melawan bajak laut ketika dalam perjalanan dari Demak ke Cirebon. Setelah meninggal Pangeran Jaya Kelana, Nyai Ratu Pembaya menikah lagi dengan Ki Fadhillah Khan atau Fatahillah atau Faletehan sebagai isterinya yang ke dua (Sunarjo, 1983:68). Selain itu menurut Hoesen Djajadiningrat (1913) untuk memperkokoh hubungan Cirebon dan Demak maka dikawinkanlah putera Sunan Gunung Djati yaitu Pangeran Pasarean dengan Ratu Nyawa puteri Sultan demak yang juga janda dari kakaknya yaitu Pangeran Brata Kelana. Menurut Babad Tanah Jawi, dan Babad Pajajaran, hubungan kedua kerajaan Islam itu semakin erat terutama setelah perkawinan Nyai Mas Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor. Tetapi pernikahan inipun tidak berlangsung lama karena Pangeran Sabrang Lor yang dikenal dengan Raja Demak II meninggal. Kemudian Janda Raja Demak II tersebut menikah lagi dengan Fatahillah.

nah mungkin hanya itu kawan postingan yang bisa saya post sekarang
semoga saja bisa bermanfaat buat kawan semua
makasih juga kawan sudah datang ke blog ane
jangan lupa coment kawan untuk kemajuan blog ini
thanks salam blogger....

0 Response to "SEJARAH SUNAN GUNUNG JATI"

Post a Comment

komentar di pergunakan jika ada kesalahan, menambah motivasi, gagasan, ucapan teri makasih, etc
bukan spam , spam otomoatis di hapus oleh admin
komentarlah yang sekiranya bisa membangun akan blog,
salam blogger